Sejarah Ratahan
Ratahan, Minahasa Tenggara
Ratahan adalah ibu kota kabupaten Minahasa Tenggara. Ratahan
juga meruapakan Pintu Gerbang Utara Memasuki Kabupaten Minahasa Tenggara dengan
melewati jalan gunung potong yang dihiasi pemandangan pegunungan hijau yang
sejuk. Kecamatan Ratahan dengan luas +160,60 km yang terdiri dari:
DESA :
1.
DESA RASI
2.
DESA RASI SATU
KELURAHAN:
1.
LOWU DUA
2.
LOWU SATU
3.
LOWU UTARA
4.
NATAAN
5.
TOSURAYA
6.
TOSURAYA BARAT
7.
TOSURAYA SELATAN
8.
WAWALI
9.
WAWALI PASAN
Sejarah awal mula nama Ratahan diambil dari kata nataan.
Pada abad 16 dibagian barat Kesultanan Ternate tepatnya di sebelah utara
pelabuhan mandolang (Belang), berdiam sekelompok orang ditempat yang namanya
sekarang Wanua Kangan (Negeri Lama). Mereka hidup tersendiri, dimana jumlah
mereka kira-kira 30 rumah tangga. Mereka dipimpin oleh seorang yang gagah
berani yang namanya LIKUR. Tempat tinggal mereka kira-kira 7 meter dari
permukaan tanah, dengan maksud supaya mereka aman dari gangguan musuh ataupun
binatang buas, serta sangat berjauhan satu dengan yang lainnya. Kelompok orang
ini berasal dari Mangindane (Filipina), yang berlayar menuju Sangir dan
akhirnya mereka turun dipesisir pantai Bentenan, dan dari sanalah mereka
mencari lokasi untuk membuka areal perkebunan dan pemukiman baru dengan
berjalan kearah Barat, dan tiba di Wanua Kangan (Negeri Lama). Karena mereka
mempunyai kebiasaan berpindah-pindah tempat, maka mereka berencana unuk
mencari tempat yang baru lagi untuk dijadikan tempat pemukiman mereka, setelah
sekian lama mereka berada di Wanua Kangan (Negeri Lama).Perjalan ini berlanjut
ke arah Barat, dan mereka membawa ayam jantan tiba diatas sebuah gunung
(Topinesang = gunung yang dipotong). Mereka duduk sambil melepaskan lelah,
sambil makan sirih dan pinang serta menghisap tembakau sebagai kebiasaan
mereka. Mereka melanjutkan perjalanan kearah selatan lagi, dan setelah
kira-kira 1500 meter, mereka istirahat di tepi sungai. Disini ayam yang mereka
bawa berkokok tiga kali, kemudian mereka memberi tanda dengan batu yang diperkirakan
berlokasi di sekitaran kelurahan Lowu II. Sesudah itu mereka melajutkan
perjalanan ke arah barat melewati sungai (Sungai Palaus), dan sekitar 30 meter
kembali ayam yang mereka bawa berkokok, dan ditempat itu juga diberi tanda
dengan batu (Pasik Wanua) yang berlokasi di seputaran kelurahan Lowu I.
Perjalanan mereka teruskan ke arah selatan, dan sekitar 500 meter kembali ayam
yang mereka bawa berkokok lagi, tetapi dalam bunyi yang lain (TA... TA... AN
sejumlah 3 kali).
Kemudian ayam itu mereka sembelih dan dikuburkan, dan tempat
itu diberi tanda dengan batu. (yang sekarang Batu atau Watu dari Nenek Moyang
Orang Ratahan di Kompleks Gedung Wale Wulan Lumintang atau di depan Gereja
Masehi Injili Di Minahasa "GMIM DAME TOSURAYA"). Dan dari asal bunyi TA
... TA ... AN TA ... TA ... AN ... TA ... TA ... AN itulah dikenal sebutan NATAAN
yang sekarang menjadi RATAHAN.
Asal Usul Penduduk
Penduduk Ratahan datang bergelombang baik yang dari Tontemboan (Minahasa), maupun pendatang dari seberang daratan baik
dari Utara maupun dari Selatan. Dari Tontemboan (Minahasa), Bantik, Mongondow,
Mindanao, Bayo, Tifuru. Paulus Lumoindong (Etimology Minahasa). Menurut cerita
beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua
Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan
Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya
orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung zaman batu besar
atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi
Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi,
contoh zaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar
seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau zaman Neolit di Sulawesi Utara
dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum
masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung
telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang
keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan dan Mamarimbing. Pemimpin tertinggi mereka
adalah yang bergelar Muntu-Untu,
yang memimpin musyarah di Watu
Pinawetengan pada abad ke – 7.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di
Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an
menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan
dalam cerita tua Minahasa.
Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi
Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an .
Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.
Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi
dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw
(lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou.
Pakasa’an Tondano terdiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an
Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut
Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan
Tonsawang.
Masa Sejarah
Watu Pinawetengan
Adapun empat buah perahu yang menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon dua di antaranya berlabuh di Kema, kemudian
mendirikan pemukiman di Minawerot, Kumelembuay dan Kalawat (Klabat). Satu buah
perahu berlabuh di Atep. Mereka menuju ke sebelah barat dan menjumpai sebuah
danau besar yang berada di tengah dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim
di situ lalu mendirikan pemukiman Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan Kakas.
Namun beberapa di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah selatan hingga
tiba di Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke sebelah barat lalu
mendirikan pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah perahu berlabuh di Pogidon
kemudian mendirikan pemukiman Singkil dan Malalayang di sekitar Gunung Bantik.
Ketika penduduk di sekitar Danau Bulilin terus bertambah
banyak, para Tonaas, Walian dan Potuusan berinisiatif mengadakan musyawarah
untuk membicarakan tentang (Tumani) penyebaran penduduk ke berbagai penjuru di
tanah Malesung. Tumani inilah yang dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai
pemancaran pertama orang Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan
orang-orang lain yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi
perkawinan campur sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka
terciptalah wanua (negeri).
Sebagaimana ketentuan adat, golongan Pasiowan Telu
diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum dan pinontol
(bekerja kepada para pemimpin), seperti menanam dan menuai. Selain itu
diwajibkan membagi hasil pertanian, peternakan maupun perburuan mereka kepada
golongan Makarua Makasiow dan golongan Makatelu Pitu serta melakukan
ketentuan-ketentuan adat misalnya mempersiapkan kurban persembahan setiap
dilangsungkan ritual poso negeri dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran
(Drs. R. E. H. Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).
Sekitar abad ke-5 terjadi pemberontakan dan peperangan dari
golongan Pasiowan Telu karena tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai
lahan pertanian yang sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik
golongan Makarua Siow dan Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar
sistem pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan Makarua Siow
dan golongan Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh anggota
masyarakat, tidak dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan adat.
Melihat peperangan antar Walak (kelompok Taranak) terus
berlangsung, tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya
suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan
yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat
sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The
Minahasa, 1862).
Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin
oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu
dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi,
berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya: - Menerima
penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak - Setiap kaum Taranak dapat
mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan
terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur). -
Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing,
namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat
dicerai-beraikan oleh siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai
berikut :
1.
Taranak yang dipimpin oleh Tonaas
Mapumpun, Belung, dan Walian Kakamang menuju sekitar Gunung Lokon dan bermukim
di Mayesu, dekat Kinilow dan Muung. Mereka disebut Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka dinamakan Tombulu.
2.
Kaum Taranak yang dipimpin oleh
Tonaas Walalangi dan Walian Rogi menuju ke Niaranan dan Kembuan (Tonsea Lama). Sebagian lagi mendirikan pemukiman di
sekitar Gunung Kalawat (Klabat). Mereka disebut “Tou Un Sea” (Tonsea)
3.
Taranak yang dipimpin oleh Tonaas
Karemis dan Piay, pergi ke arah barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan,
Langowan, Rumoong (Tareran)
dan Tewasen.
4.
Taranak yang dipimpin oleh Tonaas
Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit, menuju ke Kakas, Atep
dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.
5.
Kaum Taranak yang dipimpin oleh
Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Sebagian lagi mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka
disebut Ratahan. Yang menuju ke Towuntu (Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di antara tou Pasan
mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang
dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu
keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak).
Mereka disebut tou Ponosakan.
6.
Kaum Taranak yang dipimpin oleh
Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka
semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur. Mereka disebut
Toundanouw (Tondano),
artinya orang yang tinggal di sekitar air. Kemudian bangsa Belanda menamakan
mereka Tonsawang, artinya orang yang suka menolong.
7.
Kaum Taranak yang dipimpin oleh
Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju ke arah barat hingga tiba di sekitar
Gunung Bantik dan mendirikan pemukiman Malalayang. Beberapa di antara mereka pergi bermukim di Pogidon dan
Singkil. Karena bermukim di sekitar Gunung Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.
Adapun salah satu keputusan penting dari musyawarah di batu
‘’Tumotowa’’ yaitu pembagian wilayah, sehingga batu itu dinamakan ‘’Watu
Pinawetengan’’, artinya batu tempat pembagian.
Dalam perjalanan sejarah ternyata perang antar anak suku di Malesung masih
sering terjadi, sehingga 1428 para pemimpin Minahasa kembali mengadakan musyawarah di sekitar Watu
Pinawetengan. Adapun keputusan yang dicapai
dalam musyawarah, yaitu: nama ‘’Malesung’’ diubah menjadi ‘’Minahasa’’, berasal dari kata esa (satu), diberi awalan ma dan
sisipan in, maka terbentuklah kata ‘’Maha Esa’’ (menyatukan), kemudian menjadi
‘’Minahasa’’ (Dr. Godee Molsbergen, Geschiedenis Van De Minahasa, 1929),
artinya yang menjadi satu, yaitu menyatukan seluruh anak suku Minahasa: Tontemboan, Tombulu,
Tonsea, Toulour, Pasan,
Ratahan, Ponosakan, Tonsawang dan Bantik.
Abad 5 hingga 7
Tari Kabasaran
Saat Musyawarah di Pinawetengan sekitar abad IV-V (menurut
perkiraan Riedel tahun 670) Di Utara Ratahan pemimpin-pemimpin dari suku-suku
yang berbeda, yang sama sekali berbicara bahasa yang berbeda, bertemu di batu
yang dikenal sebagai Watu
Pinawetengan. Disana mereka mendirikan
perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal
bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang,
Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di
Watu Pinawetengan
untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut
dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam
cerita tua Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an
Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa
memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa,
Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman
Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah
dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an
Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano terdiri dari walak Kakas,
Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan
Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou
terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Walak dan Pakasa'an
Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi
daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang
dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang
tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun
etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik
zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Pinawetengan. Ada tiga
nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal
Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah
Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah
besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Abad 16-17
Ratahan, Pasan, Ponosakan
Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan
dengan Ternate dan Tidore,
pelabuhannya disebut Mandolang yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan
Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman
raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu
Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di
selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni
Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan,
dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan.
Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang
Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena
dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan bersahabat dengan
Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan
bajak laut Tobelo.
Kepala Walak pada waktu itu bernama Soputan mendapatkan
bantuan tentara 800 orang dari Tombulu dipimpin Makaware dan anak lelakinya
bernama Watulumanap. Selesai peperangan pasukan Tombulu kembali ke Pakasasannya
tetapi Watulunanap menikah dengan gadis Ratahan dan menjadi kepala Walak
menggantikan Soputan yang telah menjadi buta. Antara Minahasa dengan Ternate
ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian kedua pulau tadi
dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan
Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal
Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke
Minahasa, tetapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo. Anak
lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di Ratahan. Di
Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak meriam
dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu.
Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina”
karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menghalau Spanyol dari
wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van
Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja
Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang
Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di
Ratahan melalui Bentenan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung.
Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu
bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan. Kesimpulan sementara yang dapat
kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah Penduduk asli wilayah ini adalah
Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan,
mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh. Nama Opo' Soputan ini
muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak
beradik Raliu dan Potangkuman. Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari
penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea,
Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan
Pakasa’an Touwuntu yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda
bahasa dan adat kebiasaan yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua
Jakarta mengusulkan agar wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan
satu nama Toratan (Tou Ratahan-Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang
Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang, berdekatan seperti butir padi, kadele
dan jagung giling yang diaduk menjadi satu. Penduduk wilayah ini memang sudah
kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka akhir abad 18.
Dahulu sebelum kedatangan bangsa eropa daerah ini dipimpin
seorang raja, kemudian saat pecah perang Minahasa Bolaang Mongondow maka daerah
ini bergabung dengan pasukan perserikatan Minahasa.
Perang Minahasa lawan Spanyol
Para pelaut awak kapal Spanyol berdiam di Minahasa dan bahkan membaur dengan masyarakat. Mereka menikah dengan
wanita-wanita Minahasa, sehingga keturunan mereka menjadi bersaudara dengan
warga pribumi.
Tahun 1643 pecah perang Minaesa Serikat melawan kerajaan
Spanyol. dalam suatu peperangan di Tompaso, pasukan Spanyol dibantu pasukan
Raja Loloda Mokoagouw II dipukul kalah, mundur oleh gabungan pasukan serikat
Minaesa, dikejar hingga dipantai tetapi tetapi dicegah dan ditengahi oleh
Residen VOC. Herman Jansz Steynkuler
Pada tahun 1694 bulan September tanggal 21, diadakanlah
kesepakatan damai, dan ditetapkan perbatasan Minahasa adalah sungai Poigar.
Pasukan Serikat Minaesa yang berasal dari Tompaso menduduki Tompaso Baru,
Rumoong menetap di Rumoong Bawah, Kawangkoan mendiami Kawangkoan bawah, dan
lain sebagainya.
Pada pasa pemerintahan kolonial Belanda maka daerah ini
semula masih otonom tetapi lama kelamaan kelamaan kekuasaan para raja dikurangi
dengan diangkatnya raja menjadi pejabat pemerintahan Belanda, sehingga raja
tinggal menjadi 'camat'.
Perang Kerajaan Ponosakan Pasan
/Ratahan Tonsawang Lawan Belanda
Pada sekitar tahun 1679 pecah perang Ratahan melawan Belanda, karena Ratahan menolak wilayahnya masuk dalam kekuasaan
Belanda.
Dengan diterimanya kontrak perjanjian 10 Januari 1679 yang
dibuat Belanda, itu berarti Minahasa mengakui kekuasaan Belanda. Tetapi para Ukung dari Bantik, Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan tidak mau menerima perjanjian tersebut. Pihak Belanda
beberapa kali mengadakan pendekatan dengan para Ukung di wilayah Patokan agar
menerima perjanjian itu seperti halnya dengan para Ukung Minahasa lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari desakan pihak Belanda, maka pemimpin keempat Walak
masing-masing: Ukung Rugian kepala Walak Tonsawang, Ukung Lokke kepala Walak
Pasan, Ukung Watah kepala Walak Ratahan dan Ukung Mokolensang kepala Walak
Ponosakan, sepekat mengadakan musyawarah, namun keputusannya tetap menolak perjanjian
10 Januari 1679 karena dianggap hanya menguntungkan pihak Belanda.
Melihat keteguhan prinsip mereka, pihak Belanda mengutus
suatu pasukan di bawah pimpinan Sersan Smith melalui ekspedisi dengan
kelengkapan perang melalui dua jalur, yaitu jalan darat dari sebelah utara dan
laut melalui pelabuhan Belang
untuk menggempur keempat wilayah itu. Walak Ratahan dan Ponosakan mendapat serangan mula-mula. Penduduk mengadakan perlawanan
tetapi pasukan Belanda yang menggunakan perlengkapan perang yang modern saat
itu, berhasil menghancurkan negeri Ratahan dan korban berjatuhan. Peristiwa
yang sama juga terjadi di Ponosakan. 5 orang Waraney dari Ratahan dan Ponosakan gugur. Dari Ratahan pasukan
Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Walak Pasan dan Tonsawang. Setiba di Liwutung, pasukan dari Pasan dan Tonsawang langsung menghadang dan
mengadakan perlawanan terhadap pasukan Belanda sehingga 40 penduduk bersama 5 orang Waraney gugur. Sejak saat itu wilayah Walak Ratahan, Ponosakan,
Pasan dan Tonsawang secara resmi menerima perjanjian dengan Belanda, sama
seperti Walak lainnya di Minahasa.
Para Raja yang Memerintah Ratahan
Para raja yang pernah berkuasa di Ratahan diantaranya :
Masa Walak / Gabung Minahasa
Mayor Maringka dan Mayor Soputan
Budaya
Awu dan Taranak
Rumah Tradisional Minahasa
Sebuah rumah keluarga, kelompok terkecil di masyarakat
Minahasa disebut Awu. Bahkan makna yang abu, juga digunakan dalam arti dapur.
Sampai saat ini masih banyak tempat memasak ditemukan di Minahasa yang terbuat
dari kayu atau bambu diisi dengan tanah atau abu.
Berkaitan dengan masyarakat, maka istilah Awu dipakai untuk
satu unit keluarga (rumah tangga) dan digunakan untuk menentukan jumlah
penduduk di desa. Dalam masyarakat Minahasa kuno semua keluarga, menikah atau
belum menikah, tinggal di salah satu rumah besar dengan bentuk sebuah Bangsal
yang didirikan di atas tiang-tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi untuk
keamanan alasan.
Ketika Prof Reinwardt mengunjungi Tondano pada tahun 1821 ia
masih melihat rumah-rumah yang tiang bisa dipeluk oleh dua orang dewasa.
Kemudian dalam laporan Dr Bleeker pada tahun 1855 ia menulis bahwa desa-desa di
Minahasa yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi dan besar, dan diduduki oleh
empat dari keluarga yang sama bersama-sama.
Menurut ketentuan tradisional, jika salah satu anggota
keluarga dewasa membangun rumah tangga baru, maka rumah tangga baru akan
mendapatkan kamar terpisah di keluarga pria atau wanita. Ruang yang dipisahkan
dilengkapi dengan satu tempat sendiri untuk memasak, yang berarti bahwa
penghuni itu independen. Ruangan untuk memasak disebut AWU. Awu akhirnya adalah
ditafsirkan rumah tangga. Untuk alasan itulah orang-orang yang sudah menikah
sering disebut Ka Awu (Ka = teman, saudara).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Tondano sebelum 1880 © Het Geheugen van Nederland
Kepala Awu adalah Ama (ayah) dan ketika ia mati kemudian Ina
(ibu) menggantikan dia. Fungsi kepala di tangan ayah di sini tidak berarti
bahwa ia memiliki otoritas tanpa syarat di tangannya dalam organisasi rumah
tangga. Berikut posisi kepala bersandar lebih ke arah makna bahwa ada rumah
tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Sebagaimana
ditetapkan oleh tradisi untuk pengelolaan rumah tangga Ama dan Ina wajib untuk
membuat keputusan dan menetapkan kebijakan dalam musyawarah.
Dari perkawinan sebuah keluarga besar dibentuk yang mencakup
beberapa Bangsal. Menurut adat, seorang Bangsal baru harus dibangun
bersebelahan dengan Bangsal tua. Ini untuk kepentingan manajemen kedua belah
pihak ', keamanan, dan masalah dengan lahan pertanian mereka saling. Sebuah
kompleks bangsals seperti yang ditempati oleh penduduk yang memiliki hubungan keluarga
disebut Taranak. Taranak kepemimpinan dipegang oleh Ama dari keluarga dan
disebut Tu'ur. Tugas utama adalah untuk melestarikan Tu'ur ketentuan
tradisional, mencakup hubungan antara Awu, mengatur cara-cara untuk
memanfaatkan lahan pertanian yang dimiliki bersama, mengatur perkawinan antara
anggota Taranak, hubungan antara Awu dan Taranak sampai dengan mencoba dan
menghukum Anggota yang bersalah dari apa pun. Tetapi, apa pun yang dilakukan
oleh dia, jika berkaitan dengan keamanan dan prestise dari Taranak, dia selalu
akan meminta pendapat dari anggota Taranak, karena itu juga merupakan cadangan
tradisional.
Berbeda dengan tingkat Awu di mana manajemen berada di
tangan Ama dan Ina bersama-sama, pada tingkat Taranak peran Ina tidak terlalu
menonjol. Taranak, Roong / Wanua, Walak
Pernikahan antara anggota Taranak membuat Taranaks baru.
Bangsals mulai muncul dalam kelompok, membentuk kompleks yang semakin menjadi
lebih luas. Batas-batas dari Taranak sebagai komunitas hukum mulai menjadi
kabur, dan arti dari sebuah Taranak sebagai suatu kesatuan menjadi lebih
abstrak. Jadi sebagai alat identifikasi para penghuni kompleks Bangsal, sebuah
unit teritorial digunakan. Dengan kata lain fungsi identifikasi mulai bergeser
dari bentuk hubungan darah untuk suatu bentuk penyelesaian.
Sebagai hasil dari proses ini sebuah komplek bangsal
diciptakan dalam unit yang disebut Ro'ong atau Wanua. wilayah hukum yang Wanua meliputi kompleks Bangsal sendiri
dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama
dari penghuni Ro'ong atau Wanua. Kepala dari Ro'ong atau Wanua disebut Ukung
yang berarti kepala atau pemimpin. Untuk pengelolaan wilayah tersebut, Ro'ong
atau Wanua dibagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada awalnya ini
Lukar bersandar terhadap keamanan, tetapi akhirnya Lukar digantikan menjadi
jaga (satpam).
Sampai hari ini di beberapa tempat di Minahasa kata Lukar masih digunakan dalam arti seseorang yang merawat keamanan
di desa atau di rumah kepala desa.
Seorang Ukung juga memiliki asisten yang disebut Meweteng. Tugas mereka pada awalnya adalah untuk membantu Ukung
mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil Ro'ong / Wanua. Distribusi hal ini
sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
Selain itu Ukung juga memiliki seorang asisten yang berfungsi sebagai
penasihat, terutama dalam hal-hal yang sulit berkaitan dengan tradisi.
Penasehat seperti ini tua-tua yang dihormati dan dihormati dan yang dianggap
sebagai bijaksana, mereka bernama Pa Tu'usan (yang telah menjadi contoh).
Ro'ong / Wanua meningkat dari waktu ke waktu menjadi
beberapa Wanua tertentu yang akhirnya disebut Walak.
Paesa Dalam Deken
Pemimpin Minahasa selama berabad-abad berdasarkan keputusan
mereka melalui konferensi atau Paesa Dalam Deken (tempat untuk menyatukan
pendapat). Dari namanya dapat jelas terlihat bahwa semua keputusan yang dibuat
adalah hasil dari konferensi.
Faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan
keputusan adalah pendapat pemimpin. Ini menjadi adat menyebutkan bahwa di
setiap akhir pendapatnya, pemimpin selalu berbicara: "Dai Kua?" (Itu
tidak begitu) dan? Hampir selalu jawaban dari anggota adalah: "Taintu"
(begitulah). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pendapat pemimpin adalah
pendapat sebagian besar anggota.
Itu adalah kewajiban bahwa semua ketentuan yang telah
ditentukan harus diikuti melalui meskipun mereka tidak disetujui oleh beberapa
anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa Dalam Deken sangat berat, yaitu:
dibuang dari masyarakat. hukuman ini sangat berat karena tidak ada salah satu
Taranak akan peduli nasib terdakwa. Jika ia menjadi sasaran musuh, ia tidak
bisa berharap untuk mendapatkan bantuan dari siapa pun. Ini adalah bahwa
ketentuan ini merupakan kewenangan kepala / tu'a di Minahasa kuno.
Namun, ketika pemimpin mengambil langkah-langkah yang sesuai
tidak dengan ketentuan tradisional atau masyarakat terganggu maka anggota
masyarakat akan menghancurkan dia dengan sekuat mereka. Ini telah ditunjukkan
oleh orang-orang Minahasa ketika berhadapan dengan kepala Walak. Melalui
tekanan dari masyarakat, Compagnie (VOC) dengan semua wewenang mereka membungkuk dan menyetujui
penggantian posisinya.
Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis: "Selain dari konferensi resmi yang dipimpin oleh
Ukung yang ada juga konferensi lain orang Minahasa Dan keputusan hanya dapat
dilakukan berdasarkan suara mayoritas, tanpa mempertimbangkan perbedaan dan
pengecualian para peserta.; Dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak
ada kekuatan apapun di dunia yang dapat menggeser mereka inci, bahkan jika itu
akan menyebabkan mereka kehilangan dan akan membawa mereka kedalam kehancuran.
"
Apa yang dimaksud itu, konferensi yang diselenggarakan di
luar oleh Ukung, apakah keputusan atau kebijakan Ukung, yang dianggap oleh
mayoritas anggota masyarakat, yang kompatibel dengan ketentuan khusus, adat dan
tradisi saat ini. Sumber stubornness mereka untuk mempertahankan keputusan
konferensi, adalah keyakinan bahwa para dewa berada di samping mereka. Dalam
kasus seperti ini Ukung sudah dianggap melanggar peraturan para dewa. Keputusan
yang mereka ambil, dan itu sudah tertutup oleh sumpah, ini ditafsirkan sebagai
sesuatu yang sudah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu,
dan bukan hanya untuk meminta bantuan.
Oleh karena itu meskipun Paesaan Dalam Deken sudah berisi
benih otoritas, dan memberi kesempatan untuk seorang pemimpin untuk itu,
konferensi seperti ini (yang diselenggarakan di luar kewenangan Ukung)
merupakan peringatan kepada Ukung untuk tidak melanggar ketentuan tradisional.
Ini adalah elemen demokrasi yang hadir di Minahasa.
Selain itu posisi kepala di Minahasa tidak pernah
diwariskan; jika Tu'ur dalam Taranak meninggal para anggota sebuah Taranak,
dewasa wanita dan pria, akan mengadakan konferensi untuk memilih pemimpin baru.
Dalam pemilihan fokus akan kualitas. Jika dua orang memiliki kualitas yang sama
dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin selama periode kepemimpinannya.
Itu berarti bahwa ayah selama periode kepemimpinannya adalah seorang pemimpin
yang baik saat hidup.
Ada tiga diperlukan Kualitas Kriteria (Pa'eren Telu): 1.
Ngaasan - Untuk punya otak, dimana ia memiliki keahlian dalam menjalankan
Taranak atau Ro'ong. 2. Niatean - Untuk punya hati, punya keberanian, ketekunan
dalam menghadapi masalah, mampu merasakan apa yang anggota lain merasa. 3.
Mawai - Apakah kekuatan yang dapat diandalkan, seseorang yang secara fisik
mampu mengatasi situasi apa pun, mampu menghadapi perang.
Oleh karena itu, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih
sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa pada masa lalu. Hal ini juga jelas
bahwa posisi pemimpin di Minahasa tidak pernah diwarisi.
Dr Riedel menulis:
"Di Minahasa, siapa pun dapat disebut (dapat dipilih) untuk melakukan
pemerintah sesuai dengan adat dan tradisi di daerah ini, Paendon Tua, adalah
memilih oleh Awu.."
Mapalus (saling membantu)
Dalam Mapalus,
prinsip yang sama berlaku sebagai mana wanita membawa cangkul, sekop dll
Ketentuan ini tidak berarti bahwa wanita memiliki posisi yang lebih rendah,
bagaimanapun, laki-laki memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan kelompok
Mapalus dan diwajibkan membawa parang, tombak dan senjata lainnya.
Ketentuan ini telah dilakukan organisasi Mapalus ketat sama
dengan ketentuan tradisional lainnya. Ketika membentuk pemimpin (dalam bahasa
Tontemboan Kumeter), setelah memilih, pemimpin harus dicambuk dengan tongkat
rotan oleh salah satu pemimpin di desa, sedangkan mengatakan "sekeras
memukul Anda, begitu keras harus Anda memukul anggota yang adalah malas dan
merupakan pelanggar peraturan ".
Sampai sekarang ketentuan ini masih terus berlangsung di
beberapa bagian Minahasa.
Arti Mapalus telah mengalami perubahan, seiring dengan
perkembangan dan budaya masyarakat. Dalam masyarakat kuno, Mapalus pada awalnya
masih memiliki arti yang sama seperti gotong royong (bekerja sama sebagai
sebuah komune) karena tanah pertanian masih milik bersama. Tetapi karena perkembangan
lebih lanjut dari masyarakat, dimana sifat individu diciptakan dan berdiri
keluar, maka arti Mapalus berubah menjadi saling membantu. Seperti sekarang
setiap anggota Mapalus berhak untuk mendapatkan bantuan dari anggota lain
sebagai layanan karena ia telah membantu anggota lainnya dengan melakukan
pekerjaan di sawah, ladang serta rumah dll
Manguni
Tata hidup dan tata masyarakat Minahasa dulu terjadi
percampur bauran antara ritus, adat istiadat (kenaramen) dan legenda Tou
Minahasa, sulit dipilah-pilah karena kita kurang pengamat dan pemerhati belaka,
butuh kajian objektif. Soal burung Manguni atau burung saktinya hanya milik Tou Bantik, ungkapan saya
doyot bahasa Tonsea, loyot bahasa Minahasa (Tombulu, Toulour, Tountemboan) jika
dikatakan tidak ada literaturnya mungkin versi Bantik, tetapi karena mahluk
burung Manguni keramat bagi Tou Minahasa jelas literaturnya.
Bukunya E.V Adam, hal. 17 dan 18 uraiannya sebagai
berikut : adalah 2 macam tanda bunyi burung. Pertama burung siang disebut
Waraendo, Totombara, Kumekeke, kedua burung malam yang disebut Wara Wengi Loyot
(Doyot) Kembaluan.
Burung siang menurut keterangan dan cerita bunyinya ada 4
jenis :
1. Lowas = Kééké Rondor (rendai) yakni tertawa terus
menerus. Tandanya tidak mengganggu perasaan.
2. Kééké Tenga Wowos yaitu tertawa sambil-sambilan tidak
terus menerus. Tandanya tidak mengganggu perasaan.
3. Mangolo (mangoro) yaitu bunyi tertawa parau, bunyinya
membimbangkan. Tandanya tidak menyenangkan.
4. Keté (keras) yaitu bunyi nyaring dan keras, sekaligus dan
agak panjang. Tandanya memberanikan kalau bunyi itu sebelah kirinya si
pendengar dan sebaliknya tanda itu menakutkan kalau kedengaran sebelah kanan.
Pedengar-pendengar harus berhenti seketika, apabila mereka sedang dalam
perjalanan.
Burung malam juga memberikan tanda bunyi 4 macam :
1. Manguni = Manguni Rendai yakni bunyi yang merdu tandanya
menyenangkan.
2. Imbuang = yaitu bunyi hampir-hampir merdu tetapi agak
putus-putus, sebentar kedengaran dan sebentar sayup-sayup. Tandanya tidak
menggangu perasaan.
3. Paapian = yaitu bunyi perlahan-lahan dan parau. Tandanya
bunyi ini membingungkan.
4. Kiik = yaitu panjang dan keras, sekali saja. Kalau bunyi
itu arah ke kiri, tandanya memberanikan dan apabila bunyi itu dari sebelah
kanan, atau dari hadapan, sangat menakutkan. Si pendengar perlu waspada dan
berichtiar.
Penjelasan : Lowas = Manguni
Kééké Tenga Wowos = imbuang
Mangoro = Paapian
Keté (keras) = Kiik
Agama
Ratahan sebagai bagian dari Minahasa dahulu kala mempunyai
sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku Minahasa
adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior yang disebut Opo
Wailan Wangko, Empung. Agama asli Minahasa oleh orang Eropa disebut Alifuru,
yang memiliki ciri animisme, walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah ahli. Orang
Minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa, yaitu orang-orang tua yang
memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan disegani (para dotu) yang
telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai Opo (suku Tontemboan
menyebutnya Apo). Sang Esa dikenal dengan nama Empung, atau Opo Wailan Wangko,
Opo Menambo-nembo, Opo renga-rengan, yang bermukim di Kasendukan serta dilayani
para Opo (dewa). Disamping dunia manusia di bumi, penduduk percaya ada dunia
tengah (Kalahwakan) yang didiami para Dotu. Para Dotu ini menjadi medium
manusia di bumi dengan Empung di dunia atas. Leluhur awal mempercayai jiwa
manusia tidak mati, tetapi pergi ke tempat tinggal leluhurnya. Pada saat bangsa
Eropa tiba di Minahasa, agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada
mulanya agama Kristen Katolik disebarkan oleh misionaris bangsa Spanyol dan
Portugis abad ke-16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke-19. Pada saat Belanda masuk
di Minahasa, pemeluk Katolik dialihkan menjadi Protestan. Penyebaran Protestan
dilakukan oleh zendeling (pekabar injil Belanda) berkebangsaan Jerman dan
Belanda. Kedudukan kolonial Belanda yang bertahan selama tiga abad di Minahasa
menyebabkan orang Minahasa lebih banyak memeluk aliran Protestan. Setelah agama
Kristen diperkenalkan oleh para misionaris dan zendeling dari Eropa maka agama
Kristen diterima oleh orang Minahasa sebagai agama suku-bangsa Minahasa.
Daftar Buku Referensi
Acuan penting lain Minahasa adalah : Tontemboansche
Teksten (Leiden: Brill, 1907) buku tiga jilid dari J.A.T. Schwarz. Jilid
pertama adalah kumpulan cerita-cerita rakyat yang dikumpulkan Schwarz dan
semuanya dalam bahasa Tontemboan. Seluruhnya ada 141 cerita. Temanya
bermacam-macam, mulai dari fabel, mitos kelahiran desa, kisah asal usul nama,
sampai pada legenda dan mitos tentang dewa-dewi serta doa-doa. Jilid kedua
merupakan terjemahan bahasa Belanda dari jilid pertama ditambah dengan
interpretasi pribadi oleh Schwarz sendiri. Jilid ketiga berisi catatan-catatan
linguistik dan ethnografik terhadap naskah-naskah cerita itu. Schwarz yang sama
pula yang menulis Tontemboansch-Nederlandsch woordenboek met
Nederlandsch-Tontemboansch register (Leiden: Brill, 1908). Selain itu masih
banyak karya lain yang ditulis oleh J.A.T. Schwarz yang terbit dalam MNZG.
J.A.T. Schwarz adalah salah satu misionaris NZG yang pernah bertugas di Sonder.
Ayahnya, J.G. Schwarz, adalah misionaris pelopor yang lama bekerja di Langowan,
yang tiba di Minahasa pada tahun 1831 bersama dengan J.F. Riedel, juga
misionaris pelopor yang mengabdikan lebih dari 30 tahun hidupnya, bahkan hingga
wafat, di Tondano.
Nicolaas Graafland juga menulis banyak monografi yang
diterbitkan dalam Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap
(lazim disingkat MNZG). Salah satu yang penting untuk memahami kerohanian dan
keberagamaan orang Minahasa zaman dulu adalah tulisannya yang berjudul “De
geestesarbeid der Alifoeren in de Minahassa gederunde de heidensche periode”
(MNZG 25, 1887). Di sini Graafland antara lain menggali kedalaman arti dan
makna kerohanian tua di Minahasa (khususnya di wilayah berbahasa Tombulu), dari
masa sebelum ada pengaruh Kekristenan. Selain mendalami doa-doa tua, ia juga
menggali mitos tentang asal usul manusia dan beberapa legenda.
Tulisan yang dikerjakan oleh tokoh-tokoh pribumi Minahasa:
G.S.S.J. Ratulangi, A.L. Waworoentoe, Mieke Schouten berjudul Minahasa and
Bolaangmongondow: an annotated bibliography 1800-1942 (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1981). Sesuai judulnya, buku ini memuat daftar tulisan-tulisan dan
buku-buku mengenai Minahasa dan Bolaang Mongondow yang terbit dalam kurun waktu
142 tahun sejak 1800. F.S. Watuseke, Kamus Walanda-Tondano, 1985.
Taulu, H. M. Etimology Malesung/Minahasa - Indonesia: Sejarah
Terciptanya Nujuman Nama-Nama Keluarga/Fam Minahasa, Sejarah Minahasa; Yayasan
Budaya Membangun, 1980.
Pdt. Prof. DR. W.A Roeroe : Judul bukunya, Injil dan
kebudayaan di tanah Minahasa, tahun 2003 hal 163-180. DR. Willy Smits ahli
lingkungan hidup, Konsultan Dept. Kehutanan RI serta Guru Besar Tamu
Universitas diberbagai manca negara mengatakan jenis burung Manguni ini sudah
hidup lebih 50 juta tahun jadi 5 kali lebih tua umurnya daripada manusia, sebab
itu dia lebih berhikmat daripada manusia, dalam suatu diskusi ilmiah dan
teologis tahun yang lalu. Dia menjelaskan keterangan biologis tentang burung
Manguni, jenisnya, badan dan bulu-bulunya serta cara terbangnya, tentang panca
inderanya, makanan utamanya dan tempat perteduhannya.
Bukunya F Watuseke hal. 4 Imigrasi oleh perpindahan antar
pulau terbentuk puak-puak kecil: Puak Tonsawang, Puak Pasan Bangko (Ratahan dan
Pasan), Puak Ponosakan (Belang),[1]
Tempat Wisata Di Ratahan
Ratahan mempunyai banyak tempat wisata, seperti Kolam
Kinawakan dan Dodoku Aerkonde. Dodoku
Aerkonde bertempat di wawali berdekatan dengan kantor bupati minahasa tenggara
Asal Usul dari Aerkonde, pada waktu yang sudah lama, alias dahulu kala, ada
seorang Wanita yang menemukan tempat itu, dan wanita itu berenang di situ,
kemudian Ikat Konde yang dipakainya terlepas ditempat itu, dan entah bagaimana
cerita selanjutnya kemudian Lahirlah AerKonde dan masih banyak lagi.
1.
Paulus Lumoindong, Bukunya:
Etimology Minahasa, Sejarah dan Budaya Minahasa JF.Malonda MR.Dayoh David DS
Lumoindong, Bukunya: Sejarah Minahasa, Kaol Malesung, Sejarah Ratahan, Sejarah
Sulawesi Utara.
semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar